Aceh Timur: media mitra86sergap.com
"Habis manis sepah dibuang," Pepatah lama ini, sayangnya, masih sangat relevan dalam dunia politik kita hari ini,
Ia menggambarkan bagaimana seseorang yang telah berjuang membesarkan sebuah organisasi dari nol, bisa begitu saja disingkirkan ketika posisi partai telah stabil. Inilah yang dialami Suhaida M Yacob, atau yang lebih dikenal sebagai Ida Acoi, dalam tubuh Partai Perjuangan Aceh (PPA) — partai yang dia lahirkan dengan penuh pengorbanan.
Ida bukan sekadar pengurus partai biasa, Ia adalah pionir, Sejak gagasan PPA hanya berupa wacana, Ida sudah turun ke lapangan, Ia menjelajahi 23 kabupaten/kota di Aceh, membentuk kepengurusan, membangun struktur, memfasilitasi keluarnya SKT dari Kesbangpol, hingga mendampingi verifikasi faktual sebagai syarat administratif di Kemenkumham.
Semua itu tidak dibiayai negara, bahkan tak sepenuhnya didukung oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Ida menggunakan dana pribadinya.
“DPP hanya bantu sekitar Rp50 juta, sisanya saya tanggung sendiri, Mungkin sudah lebih dari Rp200 juta yang keluar dari kantong pribadi saya,” ujarnya.
Sayangnya, balasan dari semua pengorbanan itu sungguh menyakitkan. Lewat sepucuk surat dari DPP PPA, Ida dipecat dari jabatannya sebagai Ketua DPD PPA Kota Langsa — tanpa penjelasan, tanpa dialog, tanpa penghargaan.
*Tragis Tapi Nyata*
Ida tidak sendiri, Daerah-daerah seperti Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Pidie, Aceh Tamiang, dan Langsa juga mengalami hal serupa, Sebagian ketua DPD dipecat, sebagian lainnya memilih mengundurkan diri karena kecewa dengan cara DPP memperlakukan mereka.
Peristiwa ini menciptakan preseden buruk. Jika mereka yang telah membesarkan partai saja bisa diperlakukan semena-mena, bagaimana nasib kader baru yang belum tentu punya ikatan emosional atau jasa apa pun?,
Ironisnya, partai ini dipimpin oleh seorang perempuan bergelar profesor, Prof. Dr. (Adjunct) Marniati, S.E., M.Kes. Harusnya, kepemimpinan perempuan membawa nilai kebijaksanaan dan empati, bukan justru menciptakan luka di antara kader-kader setia.
*Luka Politik yang Harus Dicatat Publik*
Apa yang dialami Ida Acoi adalah pengkhianatan terhadap nilai perjuangan. Dalam politik, tentu wajar terjadi dinamika, Tapi mengabaikan kontribusi, loyalitas, dan pengorbanan adalah bentuk ketidakdewasaan yang tidak seharusnya hadir dalam partai yang mengklaim ingin membawa perubahan untuk Aceh.
Partai politik seharusnya menjadi ruang pembelajaran dan penghargaan bagi kadernya, Jika yang terjadi justru pemecatan tanpa sebab, pengkhianatan terhadap perjuangan, maka jelas,, partai tersebut telah kehilangan arah dan kompas moralnya.
Lebih dari sekadar konflik internal, ini adalah alarm bagi publik,, bahwa dalam memilih partai dan pemimpin, kita tidak hanya melihat janji dan gelar, tapi juga rekam jejak dan cara mereka memperlakukan orang-orang yang telah berkorban untuk mereka.
*Penutup: Belajar dari Ida Acoi*
Ida Acoi telah mengajarkan kita banyak hal,, tentang semangat, pengorbanan, dan cinta terhadap perubahan, Tapi ia juga jadi contoh nyata betapa keras dan kejamnya dunia politik — bahkan terhadap orang yang paling berjasa.
Maka, jika politik ingin tetap relevan di mata rakyat, terutama generasi muda, harus ada penghormatan terhadap nilai perjuangan, Tanpa itu, partai hanya akan jadi kendaraan elite, bukan alat perjuangan rakyat.
Ida Acoi mungkin telah tersingkir, tapi kisah dan lukanya akan menjadi catatan sejarah, Dan sejarah tidak pernah lupa.
Sumber : PWDPI
Wartawan : MZ
0 Komentar