Jambi.-Proses pemilihan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Jambi periode 2025–2029 kini menjadi sorotan tajam publik. Terpilihnya AKBP Mat Sanusi, seorang perwira aktif yang masih berdinas di Polda Jambi, sebagai Ketua KONI menuai kontroversi luas, tidak hanya di kalangan insan olahraga, tetapi juga di ruang hukum dan publik sipil.
Musyawarah Olahraga Provinsi Luar Biasa (Musorprovlub) yang digelar Senin, 30 Juni 2025, menetapkan Mat Sanusi sebagai pemenang dengan raihan 37 suara, unggul tipis atas pesaingnya, Zuwanda, yang memperoleh 32 suara dari total 69 suara sah. Keputusan ini diumumkan oleh pimpinan sidang, AS Budianto.
Namun, pasca pengumuman, polemik mengemuka menyusul dugaan pelanggaran prosedural. Salah satu isu utama adalah penghilangan syarat administratif penting, yakni surat izin tertulis dari atasan bagi peserta dari unsur TNI, Polri, atau ASN—syarat yang sebelumnya diwajibkan pada Musorprov 14 Mei 2025.
Tak adanya surat izin ini memunculkan dugaan bahwa pencalonan Mat Sanusi dilakukan tanpa memenuhi prosedur hukum dan administratif yang sah, menimbulkan pertanyaan: Apakah pemilihan ini telah direkayasa untuk kepentingan tertentu?
Lebih lanjut, meski belum menerima Surat Keputusan (SK) pengesahan dari KONI Pusat, Mat Sanusi dilaporkan telah menjalankan fungsi kelembagaan, seperti menunjuk Plt Ketua KONI Kota Sungai Penuh. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip tata kelola organisasi yang sah dan etis.
Sejumlah pihak mulai angkat suara. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keadilan Bersama Polri (AKBP), aktivis antikorupsi, hingga tokoh olahraga Jambi mendesak:
1. Audit menyeluruh terhadap proses Musorprovlub KONI Jambi.
2. Pembekuan sementara hasil pemilihan.
3. Intervensi Kemenpora dan Komisi X DPR RI untuk mengevaluasi pengelolaan KONI secara nasional.
"KONI seharusnya jadi rumah prestasi atlet, bukan tempat kompromi jabatan yang berpotensi melanggar hukum," tegas salah satu aktivis olahraga Jambi.
Sebagai bentuk perlawanan sipil, AKBP merencanakan unjuk rasa besar-besaran di Mapolda Jambi, menuntut klarifikasi dari Kapolda Jambi Irjen Pol. Krisno H. Siregar atas dugaan keterlibatan bawahannya dalam organisasi publik tanpa izin resmi.
Menurut Dr. Fikri Riza, S.Pt., S.H., M.H., (Praktisi Hukum & Ketua DPD FERARI Provinsi Jambi), keterlibatan anggota aktif Polri dalam jabatan sipil adalah pelanggaran serius terhadap ketentuan hukum.
Dalam penjelasannya, Fikri menegaskan bahwa Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan:
"Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."
Ketentuan ini bersifat mutlak, tanpa ruang tafsir ganda. Artinya, anggota Polri aktif tidak boleh menjabat di luar institusi kecuali sudah resmi pensiun atau mengundurkan diri.
Fikri juga mengutip UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 ayat (1) yang menegaskan larangan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, sebagai bentuk paralel prinsip netralitas aparat negara.
"Melibatkan anggota aktif dalam jabatan sipil seperti KONI tanpa dasar hukum yang sah adalah preseden buruk dalam hukum tata negara. Ini berpotensi menjadi objek gugatan administratif atas keabsahan jabatan yang diemban," tegas Fikri.
Kini, KONI Pusat berada di bawah tekanan publik untuk bersikap tegas. Apakah akan membekukan hasil Musorprovlub yang cacat prosedural atau membiarkan proses yang diduga kuat bermuatan politis ini terus berjalan?
Pertanyaan besar juga mengemuka: Apakah institusi olahraga akan tunduk pada etika dan hukum, atau kalah oleh tarik-menarik kekuasaan?
Kontroversi ini kembali mengingatkan pentingnya menjaga marwah institusi olahraga dan netralitas aparatur negara. Jabatan dalam organisasi publik bukan tempat bagi anggota aktif TNI atau Polri yang belum pensiun atau mendapat mandat resmi.
(Redaksi)
0 Komentar